
Ustadz Ahmad Solihin
Pernikahan merupakan ibadah yang paling panjang waktunya. Sejak seorang laki-laki menyatakan ikrar untuk menjadi qawwam atas seorang wanita, yang oleh Allah dinyatakan sebagai miitsaaqan ghaliizhaa, maka sejak itu ia bagaikan baru mengucapkan takbiratulihram dalam shalat. Setelah itu terjadilah kehidupan berumah tangga antara suami dan dan istri. Kehidupan yang terikat dengan ikrar janji di hadapan Allah. Kehidupan yang membuahkan konsekuensi hidup yang jauh berbeda dengan masa sebelum berumah tangga. Baik suami maupun istri, terikat dengan tanggung jawabnya masing-masing terhadap pasangan hidupnya, untuk saling merasakan sakiinah (ketenangan dan ketentraman) dalam kehidupan berumah tangga. Setelah akad nikah berlangsung dan sah menurut syari’at Islam maka akan menimbulkan hukum, serta akan melahirkan hak dan kewajiban suami-istri.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya dia ntaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. Ar-Rum: 21)
Dari Sa’ad bin Abi Waqash, ia berkata, Rasulullah saw. Bersabda, Penyebab kebahagiaan bagi bani adam ada tiga dan penyebab kehancuran bagi bani adam ada tiga, yang menjadi sumber kebahagiaan bagi bani Adam ialah, istri yang shalihah, tempat tinggal yang baik, serta kendaraan yang baik. Yang menjadi sumber kesedihan bagi bani adam ialah, istri yang jelek akhlaknya, tempat tinggal yang jelek, serta kendaraan yang jelek. (H.R. Ahmad: 1368)
Tanggung Jawab dan Hak Bersama Suami-Istri
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Q.S. Al-Nisa: 34)
Kepuasan Seksual
Berlaku Yang Baik, Saling Menghormati
Saling Mewarisi
TANGGUNG JAWAB SUAMI
Memberi Mahar
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Q.S. An-Nisa [4]: 4)
Bahkan seorang suami diharamkan untuk menyulitkan (sunda: ngaganggayong) istrinya agar ia meminta diceraikan dengan menyerahkan mas kawin kepada suaminya (talaq khulu’). Firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.” (Q.S. An-Nisa [4]: 19)
Ukuran banyak atau sedikitnya mahar tidak diatur oleh syari’at. Hal ini diserahkan kepada kemampuan dan kelayakannya, sehingga tidak memberatkan kepada kaum pria.
Al-Qur’an (surat an-Nisa ayat 4) telah menunjukkan tiga pokok dasar dalam ayat ini: Pertama: Mahar disebut sebagai shaduqah yang berasal dari kata shadaq, dan dengan demikian maka mahar adalah shidaq atau shaduqah karena ia merupakan suatu tanda kebenaran dan kesungguhan cinta kasih pria. Dan ia pun merupakan tanda keikhlasan rohani. Kedua: kata ganti “hunna“. Orang ketiga jamak untuk perempuan dalam ayat ini berarti mahar itu menjadi hak milik si wanita itu sendiri, bukan hak ayahnya atau ibunya. Mahar bukanlah upah membesarkan dan memelihara si anak perempuan. Ketiga: kata “nihlah” (dengan sukarela, spontan, tanpa rasa enggan) menjelaskan dengan sempurna bahwa mahar tidak mengandung maksud lain kecuali sebagai pemberian, hadiah. (Murtadha Muthhari: 165)
Memberi Nafkah
Mendidik & Memuliakan Istri
Dari Abu Hu rairah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Orang mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baiknya kalian ialah yang paling baik terhadap istrinya. (Tirmidzi: 1082)
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, janganlah seorang suami menghina istrinya, jika ia membencinya dalam satu sikap, ia pun pasti menyukai sikapnya yang lain. (Muslim/2672)
TANGGUNG JAWAB ISTRI
Menaati Suami
“Dari Ibnu Umar, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, mendengar dan ta’at adalah kewajiban bagi seorang muslim dalam urusan yang ia sukai ataupun dibenci selama tidak diperintah berma’shiat. Jika diperintah berma’s hiat maka tidak ada lagi kewajiban untuk mendengar dan ta’at kepadanya ” (H.R. Tirmidzi: 1629)
Mengurus Harta
- Memelihara Kehormatannya
Memelihara Kehormatan
TANGGUNG JAWAB WALI/ORANG TUA
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seoranghakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberitaufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. An-Nisa: 35)
#Wallaahu a’lam#